pemuda di mata bung karno,
Beri aku seribu orang tua, akan ku cabut semeru dari akarnya. Tapi
berikan aku sepuluh pemuda. niscaya akan kuguncang dunia.
Siapa
tidak kenal sosok Soekarno. Setiap buku teks Sejarah dari zaman sekolah
dasar hingga perguruan tinggi pasti memuat betapa heroiknya Sang
Proklamator ini. Bersama dengan Mohammad Hatta, Bung Karno
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beliau juga
mencetuskan Pancasila yang hingga sekarang masih menjadi ideologi bangsa
Indonesia yang tak lekang oleh zaman. Soekarno merupakan pelopor
berdirinya bangsa tercinta ini.
Bagi Bung Karno, baik buruknya
masa depan bangsa terletak pada generasi mudanya. Bung Karno menaruh
harapan besar terhadap pemuda-pemuda Indonesia. Beliau percaya hanya
dengan sepuluh pemuda, maka Indonesia akan menjadi negara yang terhormat
dan disegani oleh internasional.
Pemuda di mata Bung Karno adalah
sosok yang berharga. Laksana permata. Tinggal disepuh sedikit maka akan
berkilau. Pemuda yang dengan semangat dan mimpi-mimpinya akan
mengangkat martabat Indonesia. Pemuda yang nasionalis dan patriotik.
Pemuda yang tangguh dan tak kenal menyerah. Akan tetapi, kenyataannya
sekarang sangat ironis. Memasuki usia Bung Karno yang ke 112,
pemuda-pemuda Indonesia justru semakin mengalami kemunduran. Pemuda
Indonesia tak lagi patriotis tapi lebih hedonis. Tak lagi nasionalis
namun borjuis. Tak lagi tangguh tapi selalu mengeluh.
Pada zaman
dahulu, siapa yang mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia kalau bukan pemuda. Mereka bahkan
sampai menculik kedua proklamator itu. Siapa yang mempersatukan
Indonesia dengan bersama-sama mengikrarkan sumpah kalau bukan pemuda.
Siapa yang berkoar meneriakkan reformasi hingga akhirnya berhasil
menggulingkan rezim Orde Baru kalau bukan pemuda. Pemuda Indonesia
merupakan satu tonggak perjuangan sejarah masa lalu Indonesia.
Kondisi
Indonesia sekarang nyatanya dipenuhi dengan kemerosotan moral
pemudanya. Banyak kita saksikan para pelajar saling pukul dan tawuran.
Pelajar, yang notabene berpendidikan lebih memilih menyelesaikan masalah
dengan cara kekerasan. Mereka bukannya bersatu untuk membangun negeri
malah berseteru demi kepentingan pribadi dan kenikmatan sesaaat.
Sikap
yang demikian itu tentu saja tidak akan membawa Indonesia pada
perubahan. Justru sebaliknya, Indonesia yang terdiri dari beragam suku
bangsa akan semakin mudah dipecahkan bila pemuda sebagai seorang pelopor
tidak sadar akan pentingnya kesatuan. Bahkan kepada sesama bangsanya
mereka saling curiga, cemburu, dan iri. Hingga akhirnya adu pukul dan
adu kekuatan. Saling mendominasi dan merasa dirinya kuat. Tentu saja,
Bung Karno tak pernah berharap bahwa pemuda Indonesia akan seperti itu.
Arus
globalisasi menjadikan semua informasi dan budaya dapat masuk dengan
mudahnya. Akan tetapi hal tersebut justru berdampak buruk bagi kita.
Banyak sekali pemuda Indonesia kehilangan jati dirinya. Mereka lebih
bangga kepada produk-produk kebudayaan luar negeri.
Pemuda kita
lebih bangga menonton film-film luar negeri daripada pagelaran wayang.
Menonton film-film box office bisa antre hingga berjulur-julur tetapi
seni ketoprak sepi peminat. Lebih bangga memakai barang impor daripada
batik. Menghabiskan uang utnuk membeli barang branded merek luar negeri
agar dibilang gaul. Lebih bangga hafal lagu mancanegara daripada lagu
daerah atau lagu nasional. Yang miris adalah ketika pemuda Indonesia
mengikuti gaya hidup kebarat-baratan yang tidak sesuai dengan adat dan
kebudayaan Indonesia. Berpakaian sama sekali tidak santun dan seenaknya.
Ini
akhirnya berimbas juga pada perilaku. Indonesia yang dulunya dikenal
dengan sifat tenggang rasa serta gotong royong semakin memudar seiring
dengan makin individualistiknya pemuda kita. Menjadi acuh, tak peduli,
dan skeptis. Padahal dahulu Bung Karno menyanjung pemuda karena besarnya
mimpi serta tingginya solidaritas mereka.
Perkataan Bung Karno
tentang tugas pemuda untuk membangun Indonesia seharusnya cukup menjadi
cerminan bagi kita para pemuda. Sepuluh pemuda yang diminta Bung Karno
tentu saja bukan pemuda yang gemar bertarung, individual, dan suka
mengeluh. Akan tetapi pemuda yang penuh mimpi dan harapan bagi kemajuan
Indonesia. Pemuda yang berani, berbudi, berpendidikan, dan berkiblat
pada kepentingan rakyat.
Kita tentu tahu bagaimana dulu Soekarno
membangun Indonesia. Dengan keberaniannya, beliau bahkan berani
menentang Malaysia bahkan Amerika Serikat. Tapi sekarang sungguh ironis.
Kita bahkan tunduk dengan tren yang dibuat. Kita harusnya belajar dari
sosok Soekarno. Beliau dengan gigihnya mendirikan Indonesia. Beliau
menciptakan Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman hidup kita,
masyarakat Indonesia. Bukankah Pancasila tidak pernah mengajari tentang
kekerasan. Lalu mengapa masih bersitegang? Indonesia butuh pemuda.
Seperti layaknya Soekarno.
Soekarno kini berusia 112 tahun.
Meskipun jasadnya telah dirangkul bumi, namun harapan-harapannya masih
tetap menggaung di bumi pertiwi. Harapan-harapan untuk membangun
Indonesia. Indonesia yang berketuhanan. Indonesia yang berkemanusiaan
dan beradab. Indonesia yang berbhineka tetapi tetap satu. Indonesia yang
berkerakyatan. Indonesia yang berkeadilan. Harapan-harapan tersebut
telah disematkan pada pundak pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia yang
dipercaya dan menjadi harapan Soekarno.
sumber : http://satelitnews.co/menjadi-pemuda-harapan-soekarno/