Senin, 16 Maret 2015

pemuda indonesia

pemuda di mata bung karno,


Beri aku seribu orang tua, akan ku cabut semeru dari akarnya. Tapi berikan aku sepuluh pemuda. niscaya akan kuguncang dunia.

Siapa tidak kenal sosok Soekarno. Setiap buku teks Sejarah dari zaman sekolah dasar hingga perguruan tinggi pasti memuat betapa heroiknya Sang Proklamator ini. Bersama dengan Mohammad Hatta, Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beliau juga mencetuskan Pancasila yang hingga sekarang masih menjadi ideologi bangsa Indonesia yang tak lekang oleh zaman. Soekarno merupakan pelopor berdirinya bangsa tercinta ini.

Bagi Bung Karno, baik buruknya masa depan bangsa terletak pada generasi mudanya. Bung Karno menaruh harapan besar terhadap pemuda-pemuda Indonesia. Beliau percaya hanya dengan sepuluh pemuda, maka Indonesia akan menjadi negara yang terhormat dan disegani oleh internasional.

Pemuda di mata Bung Karno adalah sosok yang berharga. Laksana permata. Tinggal disepuh sedikit maka akan berkilau. Pemuda yang dengan semangat dan mimpi-mimpinya akan mengangkat martabat Indonesia. Pemuda yang nasionalis dan patriotik. Pemuda yang tangguh dan tak kenal menyerah. Akan tetapi, kenyataannya sekarang sangat ironis. Memasuki usia Bung Karno yang ke 112, pemuda-pemuda Indonesia justru semakin mengalami kemunduran. Pemuda Indonesia tak lagi patriotis tapi lebih hedonis. Tak lagi nasionalis namun borjuis. Tak lagi tangguh tapi selalu mengeluh.

Pada zaman dahulu, siapa yang mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia kalau bukan pemuda. Mereka bahkan sampai menculik kedua proklamator itu. Siapa yang mempersatukan Indonesia dengan bersama-sama mengikrarkan sumpah kalau bukan pemuda. Siapa yang berkoar meneriakkan reformasi hingga akhirnya berhasil menggulingkan rezim Orde Baru kalau bukan pemuda. Pemuda Indonesia merupakan satu tonggak perjuangan sejarah masa lalu Indonesia.

Kondisi Indonesia sekarang nyatanya dipenuhi dengan kemerosotan moral pemudanya. Banyak kita saksikan para pelajar saling pukul dan tawuran. Pelajar, yang notabene berpendidikan lebih memilih menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. Mereka bukannya bersatu untuk membangun negeri malah berseteru demi kepentingan pribadi dan kenikmatan sesaaat.

Sikap yang demikian itu tentu saja tidak akan membawa Indonesia pada perubahan. Justru sebaliknya, Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa akan semakin mudah dipecahkan bila pemuda sebagai seorang pelopor tidak sadar akan pentingnya kesatuan. Bahkan kepada sesama bangsanya mereka saling curiga, cemburu, dan iri. Hingga akhirnya adu pukul dan adu kekuatan. Saling mendominasi dan merasa dirinya kuat. Tentu saja, Bung Karno tak pernah berharap bahwa pemuda Indonesia akan seperti itu.
Arus globalisasi menjadikan semua informasi dan budaya dapat masuk dengan mudahnya. Akan tetapi hal tersebut justru berdampak buruk bagi kita. Banyak sekali pemuda Indonesia kehilangan jati dirinya. Mereka lebih bangga kepada produk-produk kebudayaan luar negeri.

Pemuda kita lebih bangga menonton film-film luar negeri daripada pagelaran wayang. Menonton film-film box office bisa antre hingga berjulur-julur tetapi seni ketoprak sepi peminat. Lebih bangga memakai barang impor daripada batik. Menghabiskan uang utnuk membeli barang branded merek luar negeri agar dibilang gaul. Lebih bangga hafal lagu mancanegara daripada lagu daerah atau lagu nasional. Yang miris adalah ketika pemuda Indonesia mengikuti gaya hidup kebarat-baratan yang tidak sesuai dengan adat dan kebudayaan Indonesia. Berpakaian sama sekali tidak santun dan seenaknya.
Ini akhirnya berimbas juga pada perilaku. Indonesia yang dulunya dikenal dengan sifat tenggang rasa serta gotong royong semakin memudar seiring dengan makin individualistiknya pemuda kita. Menjadi acuh, tak peduli, dan skeptis. Padahal dahulu Bung Karno menyanjung pemuda karena besarnya mimpi serta tingginya solidaritas mereka.

Perkataan Bung Karno tentang tugas pemuda untuk membangun Indonesia seharusnya cukup menjadi cerminan bagi kita para pemuda. Sepuluh pemuda yang diminta Bung Karno tentu saja bukan pemuda yang gemar bertarung, individual, dan suka mengeluh. Akan tetapi pemuda yang penuh mimpi dan harapan bagi kemajuan Indonesia. Pemuda yang berani, berbudi, berpendidikan, dan berkiblat pada kepentingan rakyat.
Kita tentu tahu bagaimana dulu Soekarno membangun Indonesia. Dengan keberaniannya, beliau bahkan berani menentang Malaysia bahkan Amerika Serikat. Tapi sekarang sungguh ironis. Kita bahkan tunduk dengan tren yang dibuat. Kita harusnya belajar dari sosok Soekarno. Beliau dengan gigihnya mendirikan Indonesia. Beliau menciptakan Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman hidup kita, masyarakat Indonesia. Bukankah Pancasila tidak pernah mengajari tentang kekerasan. Lalu mengapa masih bersitegang? Indonesia butuh pemuda. Seperti layaknya Soekarno.
Soekarno kini berusia 112 tahun. Meskipun jasadnya telah dirangkul bumi, namun harapan-harapannya masih tetap menggaung di bumi pertiwi. Harapan-harapan untuk membangun Indonesia. Indonesia yang berketuhanan. Indonesia yang berkemanusiaan dan beradab. Indonesia yang berbhineka tetapi tetap satu. Indonesia yang berkerakyatan. Indonesia yang berkeadilan. Harapan-harapan tersebut telah disematkan pada pundak pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia yang dipercaya dan menjadi harapan Soekarno.

sumber : http://satelitnews.co/menjadi-pemuda-harapan-soekarno/

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com